Mereka yang Menolak Dikubur di Makam Pahlawan, Ingin Selalu Dekat Rakyat

Yan Aminah
Jul 07, 2024

Mereka yang Menolak Dikubur di Makam Pahlawan, Ingin Selalu Dekat Rakyat: kolase

KOSADATA | Jumat, 14 Maret 1980, Indonesia berduka. Salah seorang putra terbaik bangsa, Sang Proklamator, meninggal dunia di Jakarta. Mohammad Hatta tutup usia. Sosok cerdas dan sederhana asal Sumatra Barat itu menghembuskan napas terakhirnya pada usia 77 tahun.

Lima tahun sebelumnya, 10 Februari 1975, Bung Hatta menulis wasiat, “Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamasikan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.”

Lantaran wasiat itu, Bung Hatta tidak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, seperti para tokoh bangsa lainnya, tapi pemakaman umum.

Bung Hatta

Lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 12 Agustus 1902, Mohammad Hatta merupakan anak kedua dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang pandai, tekun, dan taat beragama.

Setelah dewasa, kecerdasannya semakin terasah hingga mendapatkan beasiswa di Belanda. Salah satu kecerdasannya yang menonjol adalah penguasaan bahasa asing. Ia fasih berbicara bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris.

Setelah Indonesia merdeka, Suami Rahmi Rachim dan ayah tiga anak itu menjadi sosok yang kali pertama menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia, mendampingi Soekarno. Namun, pada 1956 ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil Presiden.

Pada 14 Maret 1980, Indonesia berduka kehilangan salah seorang putra terbaik. Bung Hatta meninggal dunia pada usia 77 tahun. Sesuai wasiatnya, Bung Hatta tidak dikubur di makam pahlawan, tapi di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Dipimpin Wakil Presiden Indonesia, Adam Malik, pemakaman Bung Hatta berlangsung dengan upacara kenegaraan. Sebelumnya, Buya Hamka memimpin salat jenazah di rumah almarhum dan larut dalam duka.

Presiden Soeharto serta sejumlah pejabat negara turut hadir. Ruas-ruas jalan menuju pemakaman dipenuhi lautan manusia. Di TPU Tanah Kusir, dalam suasana duka, Indonesia melepas kepergian Bung Hatta untuk terakhir kalinya.

Terhitung sejak kematiannya, tiga puluh dua tahun kemudian, November 2012, Bung Hatta dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kesempatan yang sama, Ir. Soekarno pun mendapat gelar serupa. Dwi tunggal Indonesia, Soekarno – Hatta dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.

Buya Hamka

Selain Bung Hatta, ada tokoh lain yang menolak dikubur di makam pahlawan. Satu di antaranya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Ia pun dimakamkan di TPU Tanah Kusir.

Semasa hidupnya, Buya Hamka dikenal juga sebagai sastrawan dan mendapatkan gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Al-Azhar Mesir dan Universitas Kebangsaan Malaysia. Ia telah membuat karya-karya berpengaruh, di antaranya Tafsir Al-Azhar, Tasawuf Modern, Falsafah Hidup, dan menulis banyak novel, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli dan lain-lain.

Pria kelahiran Sumatra Barat, 17 Februari 1908, itu meninggal dunia di Jakarta pada hari Jumat di bulan Ramadan tanggal 24 Juli 1981, dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Ia menghembuskan napas terakhirnya sembari tersenyum.

Pada November 2011, Buya Hamka dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sama dengan Bung Hatta, Buya Hamka juga berpesan untuk tidak dikebumikan di Makam Pahlawan Kalibata. Alasannya agar lebih dekat dengan masyarakat dan memudahkan siapapun yang ingin berziarah ke makamnya.

Ali Sadikin

Bila ditanya siapa gubernur Jakarta yang paling fenomenal, jawabannya bisa jadi Ali Sadikin. Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat, 7 Juli 1926, yang ditunjuk Presiden Soekarno menjadi gubernur Jakarta pada 1966 ini, banyak membuat kebijakan yang kontroversial.

Dua di antaranya adalah mengizinkan pembangunan proyek-proyek hiburan malam dan memperbolehkan praktik perjudian. Ia lantas memungut pajak dari hiburan-hiburan itu, dan uangnya digunakan untuk membangun kota.

Bang Ali, begitu ia akrab disapa, gencar membangun infrastuktur Jakarta. Maka jadilah Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Proyek Senen, Taman Ria Monas, Taman Ria Remaja dan lain-lain.

Sepak terjangnya selama menjadi gubernur dinilai berhasil dalam mengembangkan Jakarta menjadi kota metropolitan yang modern. Ia lantas pensiun pada 1977, dan hingga kini namanya masih dikenang.

Bang Ali meninggal di Singapura pada Selasa, 20 Mei 2008, setelah dirawat selama satu bulan akibat menderita komplikasi. Jenazah dikubur di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Soerjadi Soerjadarma

Soerjadi Soerjadarma adalah perintis Angkatan Udara Republik Indonesia dan Kepala Staf TNI AU yang pertama. Pria kelahiran Banyuwangi, Jawa Timur, 6 Desember 1912, ini sejak kecil memang sudah bercita-cita jadi penerbang. Untuk mewujudkannya, pada September 1931, Soerjadarma dafar Akademi Militer di Breda, Belanda, hingga lulus pada 1934.

Setelah itu, Soerjadarma ditempatkan di Satuan Angkatan Darat Belanda di Nijmigen, Negeri Belanda. Satu bulan kemudian dipindahkan ke Batalyon I Infantri di Magelang sampai November 1936.

Kendati sempat dua kali mengikuti test masuk Sekolah Penerbang lantaran sakit Malaria, ia tak patah arang. Berkat keuletan dan kemauan yang keras, pada test yang ketiga Soerjadarma akhirnya diterima menjadi siswa penerbang yang diselenggarakan di Kalijati, dan selesai pada 1938.

Sejumlah pendidikan lain dan berbagai tugas ia emban selama hidupnya. Tiga di antaranya adalah Kepala Staf AURI, penasihat Militer Presiden RI, serta Menteri Pos dan Telekomunikasi. Pada Sabtu, 16 Agustus 1975, Soerjadarma meninggal dunia dan dikebumikan di Pemakaman Umum Karet, Jakarta.

Sarwo Edhie Wibowo

Nama yang satu ini kerap disebut saat membahas soal Partai Komunis Indonesia. Dia adalah Sarwo Edhie Wibowo, Panglima Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat atau RPKAD yang berhasil menumpas gerakan 30 September.

Pria kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1927, ini punya ketertarikan pada dunia militer setelah melihat tentara Jepang. Dari semula jadi anggota Barisan Pemuda atau tentara cadangan yang dibentuk Jepang, hingga bergabung Badan Keamanan Rakyat yang kini menjelma jadi Tentara Nasional Indonesia.

Selain Komandan RPKAD, ayah dari Kristiani Herrawati, istri Susilo Bambang Yudhoyono, itu pernah menjadi Pangdam II/Bukit Barisan, Pangdam XVII/Tjenderawasih, dan Gubernur AKABRI.

Pada 9 November 1989, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo, meninggal dunia. Ia dikebumikan di pemakaman keluarga, di Kampung Ngupasan, Purworejo, Jawa Tengah.

Ki Hajar Dewantara

Sosok yang satu ini pasti sudah tidak asing di telinga. Ketika mendengar namanya, yang langsung terlintas di benak pasti dunia pendidikan. Dia adalah RM Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.

Pria kelahiran Yogyakarta, 2 Mei 1889, itu dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia bukan tanpa alasan. Ia di antaranya mendirikan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi kelas bawah untuk bisa memperoleh hak pendidikan.

Ki Hajar Dewantara mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Konsep triloginya hingga saat ini masih menjadi pijakan, yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Melalui konsepnya itu, ia mengingatkan bahwa pendidik hendaknya menjadi contoh, membangkitkan atau menggugah semangat, serta memberikan dorongan moral dan semangat kerja.

Perjuangannya dalam mendidik generasi penerus bangsa terhenti pada 26 April 1959. Ia meninggal dunia dan dikubur di pemakaman keluarga Taman Siswa Wijaya Brata, Yogyakarta. Selain tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, ia juga dianugerahi gelar pahlawan nasional.

Bung Tomo

Pemilik nama Sutomo ini lebih dikenal dengan sapaan Bung Tomo. Sosoknya tidak bisa dipisahkan dengan pertempuran heroik kala rakyat Surabaya melawan Belanda yang membonceng NICA pada 10 November 1945.

Pekik “Allahu Akbar” dan “Merdeka” yang dilantangkan Bung Tomo telah membakar semangat juang arek-arek Suroboyo dalam melawan penjajah. “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!”

Putra sulung enam bersaudara dari pasangan Kartawan dan Subastita itu pernah menjadi wartawan di Harian Ekspres hingga pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya. Pada masa Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, 1950-1956, Bung Tomo menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran, merangkap Menteri Sosial (Ad Interim).

Sikap kritisnya tetap menyala saat Soekarno dan Soeharto berkuasa. Kala rezim Orde Baru, misalnya, ia sering mengkritik program-program Soeharto, sehingga pada April 1978 ditangkap dan dipenjaa dengan tuduhan melakukan aksi subversif.

Sekitar tiga tahun dari peristiwa itu, Bung Tomo meninggal dunia pada 7 Oktober 1981, saat menunaikan ibadah haji. Setelah menunggu selama delapan bulan, jenazah Bung Tomo akhirnya bisa dibawa ke Indonesia, dan dikubur di tempat pemakaman umum Ngagel Surabaya.

Sulistina, istri Bung Tomo, mengatakan bahwa suaminya sempat berwasiat untuk tidak dikubur di taman makam pahlawan. Pada 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukuhkannya sebagai pahlawan nasional. ***

Related Post

Post a Comment

Comments 0