Siti Walidah, Perempuan Hebat yang Orang Jarang Tahu

Yan Aminah
Oct 06, 2024

Siti Walidah yang lahir pada 3 Januari 1872 merupakan putri dari seorang penghulu di Keraton Yogyakarta.

“Apa yang dipunya, syukurilah dengan hati gembira, dan dirawatlah dengan gembira pula. Jangan mengajukan banyak permintaan dan tuntutan. Itulah pesanku. Nanti kamu akan hidup dengan tentram. Lihatlah saya, tidak memakai apa-apa. Tidak punya banyak tuntutan. Ya, seperti yang kamu lihat.”

KOSADATA | Perempuan yang satu ini tidak dikenal banyak orang. Padahal, peran dan perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara ini sangat besar. Ia adalah Siti Walidah, istri KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Namanya memang tidak setenar Kartini yang sering diulang-ulang dalam pelajaran sejarah. Namun, peran Siti Walidah atau lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sumbangsihnya terhadap negara dan bangsa ini sangatlah besar. Tak heran, pada 1971, Presiden Soeharto memberinya gelar Pahlawan Nasional.

Perempuan kelahiran Yogyakarta, 3 Januari 1872, itu merupakan putri Kiai Muhammad Fadhil, seorang penghulu di Keraton Yogyakarta. Ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, kendati pergaulannya terbatas dan tidak belajar di sekolah formal, ia sangat giat dalam menuntut ilmu keislaman.

Fahmi Riady, dosen UIN Antasari Banjarmasin, dalam tulisannya memaparkan, Siti Walidah menaruh perhatian besar pada masalah perempuan, terutama dalam hal kesetaraan pendidikan dengan laki-laki.

Untuk itu, pada 1914, ia merintis kelompok pengajian wanita yang diberi nama Sopo Tresno atau siapa cinta. Kegiatannya berupa pengajian ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis yang mengupas tentang hak dan kewajiban perempuan.

Sebelumnya, ia membuat perkumpulan bernama Wal Ashri sebagai wadah pengajian kaum hawa. Ia rela keluar masuk kampung mulai dari Kauman, Lempuyangan, Karangkajen, hingga Pakualam.

Melalui kajian seperti itu, kaum hawa diharapkan sadar seputar kewajibannya sebagai manusia, istri, hamba Allah, dan sebagai warga negara. Ikhtiar yang dilakukan Nyai Dahlan juga menjadi tameng dari masifnya Kristenisasi di Jawa melalui sekolah yang disponsori pemerintah kolonial.

Setelah berjalan cukup lama, K.H. Fakhruddin, salah seorang pengurus Muhammadiyah, menyarankan untuk mengubah nama Sopo Tresno dan dijadikan organisasi wanita yang dikelola lebih baik. Maka, sejak 22 April 1917, namanya diganti menjadi Aisyiyah, dan pada 1922 resmi menjadi bagian dari Muhammadiyah.

Pergerakan Nyai Ahmad Dahlan dalam memberikan pencerahan dan mengangkat harkat martabat kaum hawa semakin luas. Terlebih, setelah menjadi bagian dari Muhammadiyah, Aisyiyah punya banyak cabang di berbagai daerah.

Salah satu fokus gerakannya adalah pemberantasan buta huruf arab dan latin. Bukan hanya melalui tatap muka, spektrum dakwah diperluas dengan membuat majalah bernama Suara Aisyiyah dan melalui amal-amal usaha yang beragam.

Selain ilmu agama, Nyai Ahmad Dahlan pun kerap menyampaikan tentang pentingnya budi pekerti kaum perempuan, seperti hormat pada orang tua, jujur dalam keseharian, sederhana, dan tidak boros.

Salah satu nasihatnya adalah “Apa yang diberikan oleh suamimu, maka terimalah dengan senang hati. Jangan merengek, karena itu bisa membebani suamimu. Janganlah kamu minta untuk dibelikan ini dan itu, karena itu bisa membuat suamimu bersusah hati, sehingga suamimu mencari-cari uang yang tidak halal. Sungguh, ini adalah pantangan besar. Camkanlah pelajaran saya ini, Insya Allah kamu akan selamat.”

Selain itu, “Apa yang dipunya, syukurilah dengan hati gembira, dan dirawatlah dengan gembira pula. Jangan mengajukan banyak permintaan dan tuntutan. Itulah pesanku. Nanti kamu akan hidup dengan tentram. Lihatlah saya, tidak memakai apa-apa. Tidak punya banyak tuntutan. Ya, seperti yang kamu lihat.”

Keterampilan hidup pun tak luput ia ajarkan. Para perempuan yang diajarkan berpidato, berwirausaha, membuat kue, menjahit dan lain-lain. Selain untuk kemandirian, keterampilan-keterampilan seperti itu penting dikuasai agar perempuan bisa turut bergerak dalam bidang sosial.

Nyai Ahmad Dahlan selalu mendorong dan memberi semangat kepada generasi muda untuk berjuang demi kepentingan negara dan bangsa. Bukan hanya bicara, ia memberikan keteladanan secara nyata. Ia tanpa lelah memperjuangkan hak-hak kaum perempuan yang kala itu terpinggirkan.

Setelah Nyai Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 31 Maret 1946, roda Aisyiyah tidak lantas terhenti malah sebaliknya. Kini, setelah berusia lebih dari seratus abad, cabang Aisyiyah telah tersebar di seantero negeri dan memiliki amal usaha yang bergerak di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, pemberdayaan masyarakat, dan kesejahteraan sosial. ***

Related Post

Post a Comment

Comments 0