Cerita Tentang Perlawanan Haji Sarip di Majalengka: Protes Diplomasi Beras

Yan Aminah
Aug 17, 2024

Sutan Sjahrir, PM Indonesia, memeriksa kapal laut India Empire Favour yang akan memuat beras dari Cirebon yang akan dikirim ke India. Foto: ANRI

 

KOSADATA | Proklamasi kemerdekaan yang digaungkan Soekarno-Hatta tidak serta-merta membuat Indonesia terbebas dari intervensi pihak luar. Keadaan sosial politik yang belum pulih, diperparah dengan kedatangan NICA dan sekutu.

Apalagi, Belanda memblokade ekonomi Indonesia, sehingga akses atau pintu kerja sama perdagangan Indonesia dengan pihak luar terhenti. Hal itu membuat kas negara kosong dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.

Untuk keluar dari situasi itu, pemerintah Indonesia membuat kebijakan India rice atau diplomasi beras. Selain untuk bertahan dari blokade ekonomi yang dilakukan Belanda, kebijakan tersebut dikeluarkan untuk meminta dukungan kepada India terkait kemerdekaan Indonesia.

Namun, kebijakan diplomasi beras itu mendapat protes dari sejumlah pihak di dalam negeri. Penjualan beras dengan harga murah kepada India itu dinilai mencerminkan ketidakpekaan Pemerintah Indonesia kepada rakyat sendiri, karena masih banyak yang hidup sengsara.

Gerakan protes itu salah satunya dilakukan oleh Haji Sarip di Majalengka, Jawa Barat. Ia menilai kebijakan pemerintah sangat berbanding terbalik dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat luas, mengingat kesejahteraan dan kebutuhan rakyat Indonesia masih belum tercukupi.

Tia Dwi Nurcahya dalam tulisannya “Gerakan Protes Haji Sarip di Kabupaten Majalengka 1947” menjelaskan, alasan lain yang memicu adanya gerakan itu adalah ketidaksetujuan atas ditugaskannya aparatur-aparatur pemerintah yang sebelumnya bekerja kepada Belanda.

Untuk melancarkan aksi protesnya di Majalengka, Haji Sarip yang berasal dari Purwokerto itu membentuk perkumpulan Barisan Banteng dan mempunyai sayap organisasi bernama pasukan Gaib. Kelompok itu mengajarkan tentang “kemanusiaan” yang berideologi sama rata, sama rasa, sama warna, sama bangsa, dan benderanya hitam putih.

Barisan Banteng itu bukan hanya di Majalengka, tapi juga tersebar ke seluruh Keresidenan Cirebon. Karakteristik masyarakat Majalengka yang banyak buruh dan petani sangat memungkinkan untuk menyebarkan paham yang dianut Haji Sarip.

Lantaran itulah Majalengka dipilih sebagai pusat dalam pembentukan kelompok Barisan Benteng. Sementara itu, Pasukan Gaib melancarkan gerakan protes terhadap pemerintah RI dan melakukan provokasi-agitasi kepada masyarakat.

Haji Sarip juga menyebarkan doktrin-doktrin kepada masyarakat dengan mengklaim dirinya sebagai ratu adil yang akan menjadi juru selamat. Siapapun yang ikut dalam kelompoknya niscaya akan mendapat kebahagiaan dan terhindar dari segala bencana.

Doktrin lainnya adalah adalah tentang sama rata, sama rasa, sama warna, dan sama bangsa. Haji Sarip kerap menekankan bahwa semua manusia itu sama. Tidak ada miskin dan kaya, sehingga yang punya hewan ternak dan sawah berlebihan harus dibagikan kepada yang kekurangan dan membutuhkan.

Pemikiran yang dianut oleh Haji Sarip itu mengarah pada sosialisme - komunis yang menginginkan adanya sebuah perubahan tatanan pemerintahan, baik secara sosial maupun politik.

Dalam ranah sosial, Haji Sarip menginginkan tidak adanya kelas di kalangan masyarakat. Ia menilai, adanya sistem kelas mengakibatkan perbedaan yang bakal menjadi sumber konflik. Adapun dalam aspek politik, ia menuntut adanya perubahan tatanan pemerintahan.

Gerakan yang dilakukan Haji Sarip lumayan mendapat simpati masyarakat. Jumlah kelompok Gaib terus mengalami perkembangan dan menyebar di banyak kecamatan. Menyebarnya gerakan itu lantaran dalam melakukan provokasinya mereka selalu memakai lambang-lambang agama Islam.

Namun, gerakan itu hanya berlangsung singkat. Gema protes melemah dan hilang setelah Haji Sarip ditangkap oleh Kepolisian Keresidenan Cirebon pada 1947. Ia ditangkap dengan tiga tuduhan, yaitu melemahkan perjuangan, menghina pemerintah, dan menghina tentara.

Haji Sarip kerap menyebarkan informasi kepada masyarakat bahwa mereka yang menjadi tentara merupakan orang kampung, miskin, dan kerjanya tidak maksimal. Ia secara terang-terangan melakukan gerakan protes kepada pemerintah yang dinilai tida bisa mengurus rakyatnya sendiri.Gerakan provokatif yang dilakukan Haji Sarip di Majalengka tidak meninggalkan bekas yang terlalu berarti bagi masyarakat. Pasalnya, setelah proklamasi, masyarakat Majalengka lebih terfokus pada usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. ***

 

Related Post

Post a Comment

Comments 0