Foto: IG @_herlina_ng
KOSADATA - Lebaran Ketupat selalu menjadi perayaan istimewa bagi masyarakat Jawa, yang dirayakan sepekan setelah Idul Fitri, tepatnya pada 8 Syawal. Tradisi ini menandai berakhirnya puasa sunnah enam hari di bulan Syawal dan menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi.
Di berbagai daerah, perayaan ini dikenal dengan istilah Syawalan. Tradisi ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-15 melalui ritual "Bakda Kupat" yang melambangkan permintaan maaf dan pembersihan diri setelah menjalani ibadah puasa. Sejak saat itu, Lebaran Ketupat menjadi bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Budayawan Zastrouw Al-Ngatawi menyebut bahwa tradisi ini muncul di era Walisongo dengan mengadaptasi tradisi slametan yang telah berkembang di masyarakat Nusantara. Sunan Kalijaga menjadikan momen ini sebagai sarana mengenalkan ajaran Islam tentang bersyukur kepada Allah, bersedekah, serta menjaga silaturahmi di hari kemenangan.
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi PBNU), KH Jadul Maula, dalam sebuah diskusi menjelaskan bahwa ketupat memiliki makna filosofis yang dalam. Dalam bahasa Jawa, ketupat diistilahkan dengan "kupat," yang merupakan akronim dari "ngaku lepat" atau mengakui kesalahan.
Selain itu, bentuk ketupat yang persegi empat juga memiliki makna simbolik. Angka empat merujuk pada banyak aspek penting dalam kehidupan, seperti empat arah mata angin (Utara, Selatan, Timur, Barat), empat mazhab dalam Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), serta empat khalifah pertama dalam Islam, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan, dalam kebudayaan Jawa, angka empat juga berkaitan dengan tokoh punakawan dalam pewayangan: Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
“Empat juga mencerminkan empat malaikat utama, yakni Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Makna-makna ini terus diingatkan melalui kehadiran ketupat pada perayaan Idul Fitri,” ujar Kiai Jadul.
Namun, ia menegaskan bahwa pemaknaan filosofi ini tidak hanya sekadar wacana, tetapi memiliki pengaruh nyata terhadap realitas sosial. Jika nilai-nilai tersebut dipahami dan diterapkan dengan baik, maka dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera, bahagia, serta adil dan makmur. Sayangnya, menurutnya, makna filosofis ini semakin terkikis, sehingga yang tersisa hanyalah tradisinya secara artifisial.
“Umat Islam harus bisa mengenali, mengendalikan, dan mengarahkan filosofi tersebut dengan baik agar bisa menjalankan perannya sebagai khalifatullah di muka bumi,” pungkasnya.
Lebaran Ketupat bukan sekadar momen berkumpul dan menyantap hidangan khas, tetapi juga menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh para leluhur. Dengan memahami makna mendalam di balik ketupat, masyarakat diharapkan dapat terus menjaga dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.***
Oseng-oseng Madun, Warung Betawi Sederhana, Terkenal se-Jagat Maya
KULINER Feb 25, 2023Tanpa Libatkan Demokrat dan PKS, Nasdem Tetapkan Cak Imin Jadi Cawapres Anies
POLITIK Aug 31, 2023Berjiwa Besar, AHY Ucapkan Selamat untuk Anies-Cak Imin
POLITIK Sep 04, 2023Sekjen PDIP Kembali Sindir PAN soal Isyarat Dukung Ganjar-Erick
POLITIK Mar 03, 2023
Comments 0