Urgensi Revisi UU Pemilu untuk Perbaikan Demokrasi Indonesia

Ida Farida
Feb 27, 2025

UGM menggelar seminar bertajuk "Urgensi Revisi Undang-Undang Pemilu dalam Upaya Perbaikan Sistem Pemilu". Foto: Humas UGM

KOSADATA - Revisi Undang-Undang Pemilu kembali menjadi topik hangat yang mendesak untuk dibahas dalam rangka perbaikan sistem demokrasi Indonesia pasca-reformasi 1998. Salah satu permasalahan mendasar yang hingga kini mengganggu pelaksanaan pemilu adalah maraknya praktik money politics dan manipulasi suara yang terjadi menjelang pemilu.

 

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Abdul Gaffar Karim, dalam seminar bertajuk "Urgensi Revisi Undang-Undang Pemilu dalam Upaya Perbaikan Sistem Pemilu", yang diselenggarakan di Kampus UGM, memaparkan bagaimana fenomena false demand—kebutuhan palsu yang diciptakan—terus berkembang menjelang pemilu. 

 

"Mendekati pemilu, muncul banyak fenomena false demand. Kebutuhan yang sebenarnya tidak ada, tapi diciptakan," ujar Gaffar dilansir laman resmi UGM, Kamis (27/2/2025).

 

Gaffar menambahkan bahwa melonjaknya bantuan sosial menjelang pemilu memberikan dampak besar pada kredibilitas hasil pemilu dan semakin mengakaranya praktik money politics. Ia menegaskan bahwa pemerintah dan peserta pemilu perlu menghentikan upaya membeli suara masyarakat melalui bantuan sosial

 

Menurutnya, masyarakat kini sudah menganggap hal tersebut sebagai bagian dari norma politik, yang berbahaya bagi integritas demokrasi. "Kalau kita lihat sekarang, masyarakat justru membandingkan antara satu paslon dengan paslon lain saat menerima pembayaran. Perlu ada edukasi untuk menghentikan kebiasaan ini," lanjutnya.

 

Sementara itu, Dr. Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum UGM, mengungkapkan bahwa permasalahan money politics harus diselesaikan dengan menindak pelaku politik, bukan masyarakat. 

 

"Tanpa adanya pasar, tidak ada pembelinya. Jangan dibalik. Memang edukasi kepada masyarakat perlu, namun yang lebih penting adalah memperketat aturan politik," tegas Zainal. 

 

Menurutnya, jika tidak ada peserta pemilu dan pemerintah yang melakukan kecurangan, maka masyarakat juga tidak akan mendukung tindakan tersebut. 

 

Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, juga memberikan pandangannya mengenai fenomena money politics yang semakin mengakar. Ia menyoroti tingginya biaya yang dikeluarkan oleh calon legislatif dan eksekutif dalam memperoleh suara, termasuk biaya tim sukses, biaya operasional, dan biaya partai. 

 

"Memang sulit untuk mendapatkan suara saat ini. Siapapun, meskipun dia terkenal, belum tentu bisa memenangkan pemilu," ujarnya.

 

Revisi UU Pemilu diharapkan dapat mempertegas aturan pelaksanaan pemilu serta operasionalnya untuk memulihkan kredibilitas dan integritas proses pemilu. Dalam hal ini, kontribusi dan sinergi antara pemangku kepentingan, masyarakat, dan akademisi sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan demokrasi Indonesia yang lebih baik.***

Related Post

Post a Comment

Comments 0