Penambangan Nikel yang Mengancam Peradaban

Ida Farida
Jul 25, 2025

Parid Ridwanuddin, Peneliti Isu Kelautan Auriga Nusantara. Foto: YT Rumah Baca Komunitas

Oleh: Parid Ridwanuddin

Peneliti Isu Kelautan Auriga Nusantara

 

Dahulu, Halmahera memiliki laut yang jernih, karangnya utuh, dan ikan-ikan berenang bebas seperti tak kenal takut pada manusia. Pemandangan yang menghipnotis—warna-warni karang menyala di bawah cahaya matahari yang menembus permukaan. Rasanya seperti menyelam di tengah kota bawah laut yang sibuk tapi harmonis. Namun sekarang bayangan itu semakin memudar.

 

Indonesia dikenal sebagai pusat Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle) yang membentang dari Filipina, Papua Nugini, hingga ke ujung timur Indonesia dan negara-negara Pasifik. Wilayah ini menyimpan lebih dari 70 persen spesies karang dunia dan menjadi rumah bagi delapan juta spesies laut. 

 

Tapi keistimewaan ekologis ini tengah berada di tepi kehancuran. Bukan karena badai, bukan semata karena pemanasan global, melainkan oleh derap tambang nikel yang kian liar menyusup ke pulau-pulau kecil dan pesisir kita.

 

Demi memenuhi ambisi menjadi pemain global dalam industri baterai kendaraan listrik, pemerintah Indonesia mempercepat hilirisasi nikel. Smelter-smelter menjamur di Kepulauan Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, hingga ke Sulawesi Tengah. 

 

Demi menghidupkan mesin-mesin besar itu, bukan hanya nikel yang dikorbankan, tapi juga batu gamping, pasir, dan—tanpa sadar—terumbu karang.

 

Nikel memang tidak langsung ditambang dari laut. Tapi sedimentasi dari bukaan lahan, limpasan lumpur saat hujan, serta zat kimia dari pabrik dan aktivitas pelabuhan, semuanya mengalir ke laut. 

 

Partikel halus yang membawa logam berat dan limbah akan melayang-layang di air, menutupi karang, menghalangi sinar matahari, dan mengganggu simbiosis penting antara karang dan zooxanthellae—alga mikroskopik yang


1 2

Related Post

Post a Comment

Comments 0